C. TAMAN MADYA IBU PAWIYATAN DITUTUP.
Pada bulan Pebruari 1944 utusan Jepang dari Jakarta yang bernama Wathan Abi, seorang ahli sejarah ahli Eropa Timur, datang ke Ibu Pawiyatan Tamansiswa untuk memeriksa keadaan di Ibu Pawiyatan Tamansiswa. Padahal saat itu Ki Hadjar Dewantara sedang berada di Jakarta bersama dengan “Tiga serangkai’.
Selama enam hari pemeriksaan terhadap Ibu Pawiyatan Tamansiswa. Setelah itu Wathan Abi pergi ke Kaliurang untuk menyiapkan laporan hasil pemeriksaan ke Jakarta. Guna melengkapi laporan itu Ki Broto Hamidjojo dipanggil ke Kaliurang untuk dikorek kembali tentang keadaan Tamansiswa Ibu Pawiyatan. Rupa-rupanya Wathan Abi sudah tahu banyak tentang Tamansiswa, sehingga Ki Broto Hamidjojo tidak dapat mengelak. Setelah datang di Indonesia ternyata Wathan Abi juga mempelajari dan menyelidiki suku-suku bangsa di Burma Timur dilanjutkan dengan penyelidikan tentang tendes-tendes politik sekolah misi Amerika di Tiongkok. Dari sinilah merupakan awal untuk mengadakan penyelidikan terhadap tendens politik Tamansiswa lebih lanjut.
Atas dasar itulah maka Jepang kemudian pada bulan Maret 1944 menutup Taman Madya dan Taman Guru Ibu Pawiyatan dan merubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, ternyata Taman Tani tersebut hanya untuk menghilangkan Taman Dewasa. Taman Tani dikelolah oleh Ki Broto Hamidjojo dengan dibantu oleh Ki Guntur, Ki Sumartono dan Ki Soerjo Pranoto, kakak kandung Ki Hadjar Dewantara. Sedangkan pamong-pamongnya sebagian besar dari Taman Dewasa.
Setelah dipelajari, ternyata rooster Taman Tani yang dibuat oleh Jepang sangat memberatkan anak-anak dan tidak memberikan kesempatan untuk banyak belajar pengetahuan. Menurut rooster tersebut anak-anak harus mencangkul 24 jam setiap minggunya, sehingga ini hanya akan mendidik bangsa Indonesia menjadi petani saja. Oleh penyelenggara Taman Tani, rooster tersebut dirubah, yang semula anak harus mencangkul 24 jam perminggu menjadi hanya 6 jam perminggu. Roosternyapun sebenarnya dipergunakan rooster Taman Dewasa dengan kamuflase rooster Taman Tani.
D. SEKOLAH “GELAP”
Setelah siswa Taman Tani lulus, maka timbul lagi keinginan untuk membuka Taman Madya untuk menampung siswa Taman Tani yang ingin melanjutkan sekolah. Hal ini disebabkan oleh karena lulusan Taman Tani tidak dapat melanjutkan ke sekolah menegah umum. Sedangkan Tamansiswa mengetahui bahwa sebenarnya lulusan Taman Tani adalah siswa Taman Dewasa yang berijasah Taman Tani.
Akhirnya dibuka kembali Taman Madya, tetapi Taman Madya “gelap” karena tidak diakui oleh pemerintah Jepang.
Dengan dibukanya Taman Madya gelap saat itu muridnya mencapi 150 anak, salah satu diantaranya adalah Sdr Saleh yang gugur pada masa perang kemerdekaan dan jenasahnya yang pertama kali mengisi Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta.
Taman Madya gelap berlangsung dari bulan Maret 1945 sampai dengan Agustus 1945, berhubung pada bulan Agustus 1945 itu Jepang menyerah pada sekutu dan bangsa Indonesia memproklamasikan Kemerdekaannya. Mulai saat itulah Taman Madya Ibu Pawiyatan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar lepas dari belenggu penjajahan.
E. PADA JAMAN KEMERDEKAAN
Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, maka kegiatan belajar mengajar di Taman Madya Ibu Pawiyatan mulai dapat berjalan lancar.
Pada tahun 1947, Taman Madya Ibu Pawiyatan telah berhasil meluluskan siswanya, sekalipun pada awalnya untuk mengikuti ujian di sekolah negeri dipersulit. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kolonialisme yang melekat pada Kepala Sekolah tersebut. Sampai dengan tahun 1949 kurang lebih 20 orang lulusan Taman Madya Ibu Pawiyatan dapat lulus dari perguruan tinggi.
Perkembangan selanjutnya dari tahun 1949 sampai dengan saat ini, perkembangan secara kuantitatif Taman madya Ibu Pawiyatan disajikan dalam bentuk paparan data pada Bab II.
Dari sejak berdirinya sampai dengan saat ini, pengelolah atau Ketua Bagian (Kepala Sekolah) Taman Madya Ibu Pawiyatan telah beberapa kali mengalami pergantian, ialah :
Tahun 1941 sampai dengan 1949 : Ki Broto Hamidjojo
Tahun 1949 sampai dengan 1964 : Ki Sasmo
Tahun 1964 sampai dengan 1967 : Ki Koeswandi
Tahun 1967 sampai dengan 1973 : Ki Soekamto
Tahun 1973 sampai dengan 1992 : Ki Drs. Stephanus Singgih
Tahun 1992 sampai dengan 1996 : Ki Oengki Soekirno
Tahun 1996 sampai dengan 2004 : Ki Drs. Sugeng Subagya
Tahun 2004 sampai dengan 2007 : Ki Drs. Murni Rahwinarto
Tahun 2007 sampai dengan 2013 : Ki Triyana, S.Pd, M.Pd.
Tahun 2013 sampai dengan sekarang : Ki Drs. H. Amin Priyanta.
telah dibaca 67 kali