A. PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA
Sampai dengan akhir tahun ajaran 1940/1941. Tamansiswa Ibu Pawiyatan belum memiliki bagian perguruan untuk sekolah menegah unum. Pada saat itu yang ada baru sekolah keguruan atau Taman Guru untuk sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan siswa-siswa dari Taman Dewasa sudah hampir lulus dan para putera pamong pada waktu itu tidak semua menghendaki menjadi guru dan menuntut ilmu di Taman Guru. Pada umumnya mereka menginginmkan sekali untuk berguru disekiolah menengah umum.
Dengan adanya kenginginan para siswa tersebut, maka para pamong-pamong merasa perhatian dan akhirnya timbulah niat untuk mengusahakan berdirinya sekol;ah menengah umum di lingkungan Ibu Pawiyatan Tamansiswa.
Untuk itulah maka pada bulan Mei 1941, Ki Hajar Dewantara membentuk suatu panitia untuk memikirkan berdirirnya sekolah menengah umum di lingkungan Ibu Pawiyatan Tamansiswa, yang dinamakan Taman Madya.
Adapun Panitia pemikir berdirinya Taman Madya Ibu Pawiyatan itu adalah: Ki Hadjar Dewantara sebagai ketua panitia, sedangkan Ki Hamidjojo sebagai penulis.
Selanjutnya Panitia tersebut mengumpulkan para pendukung atau simpatisan Tamansiswa, para cendikiyawan serta para hartawan yang nantinya diharapkan dapat memberikan bantuan sumbangan pemikiran maupun material untuk dapat terwujudya sekolah menengah umum dilingkungan Ibu Pawiyatan Tamansiswa.
Panitia mengadakan pertemuan yang pertama kali pada bulan Mei tahun 1941, yang selanjutnya diteruskan dengan pertemuan- pertemuan berikutnya, ialah bulan Juni dan Juli. Namun rupa-rupanya rapat-rapat yang diadakan tersebut belum mendapatkan hasil yang memuaskan, karena pada waktu itu, khususnya di Yogyakarta belum pernah ada sekolah menengah umum swasta yang didirikan dan diselenggarakan oleh bangsa Indonesia, sebagai panitia mendapatkan kesulitan untuk pendirian tersebut.
Meskipun pada rapat terakhir pada bulan Juli tahun 1941, panitia belum memperoleh hasil yang pasti, namun pendirian sekolah menengah umum di lingkungan Ibu Pawiyatan tetap dilaksanakan. Dengan tekad yang bulat, maka panitia terus menyiarkan pengumuman melalui surat kabar yang intinya tentang pendirian sekolah menengah umum dilingkungan Ibu Pawiyatan Tamansiswa. Dan ternyata mendapatkan tanggapan yang positif dari masyarakat.
Pada bulan Agustus 1941, Tamansiswa Ibu Pawiyatan sudah resmi membuka bagian Taman Madya, maka untuk pertama kali Taman madya Ibu Pawiyatan mendap 10 ( sepuluh) orang murit. Dengan dibukanya Taman Madya di lingkungan Ibu Pawiyatan Tamansiswa, maka ini merupakan yang pertama kali di Yogyakarta didirikan sekolah menengah umum swasta yang didirikan dan dikelola oleh bangsa indonesia, karena sebelumnya belum pernah ada.
Pada awal berdirinya, Taman Madya Ibu Pawiyatan membuka jurusan pasti dan alam. Dari 10 orang murid pertama yang mendaftar tersebut, lima diantaranya menghendaki masuk pada jurusan sejarah. Berhubung jumlahnya yang hanya sangat sedikit, maka keinginan lima orang murid yang hendak masuk jurusan sejarah tersebut tidak dikabulkan, maka jumlah murid Taman Madya Ibu Pawiyatan saat itu hanya 5 orang, untuk jurusan pasti dan Alam.
Sebagai pengelola Taman Madya Ibu Pawiyatan saat itu dipercayakan kepada Ki Broto Hamidjojo, sedangkan pampong-pamongya mendapat bantuan dari para simpatisan Tamansiswa, diantaranya adalah:
- Ki Sangkojo, dari sekolah Dokter
- KI Joso Diningrat dari Sekolah Teknik Tinggi
- Ki Broto Hamidjojo dari Taman Guru
- Ki Pratolo
- Ki Suwandi, dari Taman Guru.
Dengan bantuan tenaga pamong tersebut maka kegiatan Belajar Mengajar dapat berjalan dengan lancar.
Untuk kepentingan pelaksanaan pendidikan, setiap siswa dipungut biaya sebesar Rp. 20,- (dua puluh rupiah), dan dari pungutan tersebut kemudian dibelanjakan buku-buku untuk kepentingan pamong.
Kurikulum yang diterapkan untuk kegiatan belajar mengajar, sama dengan kurikulum AMS, hanya saja di Taman Madya Ibu Pawiyatan ditambahkan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pada sekolah AMS tidak diajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Berhubungan pada saat itu belum mempunyai tempat belajar yang menetap, maka pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan tempat yang hanya menempel di Pendapa Tamansiswa. Meskipun demikian pelaksanaan belajar mengajar dapat berlangsung selama 8 (delapan) bulan, ialah mulai Agustus 1941 sampai dengan bulan Maret 1942. Setelah itu bulan-bulan selanjutnya dipergunakan untuk mempersiapkan perang Belanda dengan Jepang. Pada bulan itu tercatat terakhir tanggal dua orang siswa, satu diantaranya adalah Ki Sudarminto, Pamong Tamansiswa.
B. PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG (1942-1945)
Pada jaman pemeritah kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, Tamansiswa mengadakan perjuangan politik. Rupa-rupanya hal ini sudah mendapat perhatian serius pemerintah Jepang jauh sebelum Jepang dapat menduduki Indonesia.
Pada tahun 1920, setelah perang dunia pertama, Jepang sudah masuk Indonesia dan mendirikan toko-toko di tanah Jawa. Tetapi yang berjualan di toko-toko itu bukan sekedar orang biasa, melainkan tentara Jepang yang bertugas sebagai mata-mata, bahkan ada yang berpangkat Jenderal. Adapun tugas tersebut merupakan persiapan Jepang menghadapi atau menjelang perang dunia kedua. Dan tentunya Jepang sudah meneliti keadaan Indonesia sampai seteliti-telitinya, termasuk halnya berdirinya Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922. Jepang sangan memperhatikan Tamansiswa mengenai apa tujuan berdirinya dan bagaimana Ki Hajar Dewantara menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda adanya Onderwijs Ordonantie. Hal tersebut mendapt perhatian yang sangat serius.
Pada waktu menjelang perang dunia kedua, jepang berusaha agar pemuda-pemuda Indonesia mau diajak pergi ke Jepang. Salah satu pemuda Indonesia yang pergi ke Jepang adalah Jumali, lulusan Taman Guru. Di Jepang ternyata dikorek tentang berbagai hal mengenai Tamansiswa dan kegiatan-kegiatannya.
Keingianan Jepang untuk memimpin bangsa-bangsa di Asia Timur Raya mulai dilaksanakan, Jepang masuk Indonesia dengan membawa beberapa rencana, salah satu adalah menghadapi Tamansiswa dengan data-data yang tellah diperoleh sebelumnya.
Sekalipun cabang-cabang Tamansiswa ditutup oleh Jepang, namun Ibu Pawiyatan Tamansiswa boleh membuka bagian-bagian perguruan Taman Indria, Taman Muda, Taman Dewasa, Taman Guru dan Taman Madya. Kebijaksanaan ini bukan tanpa maksud, dengan masih dibukanya Ibu Pawiyatan Taman siswa dimaksudkan untuk menagetahui kepopuleran Tamansiswa.
Pada waktu Jepang masuk ke Indonesia, semua bagian perguruan di Ibu Pawiyatan terpaksa menghentikan kegitannya selama 10 (sepuluh) hari, untuk menyesuaikan pemindahan kekuasaan atau kedaulatan dari pihak Belanda kepada pihak Jepang.
Setelah ditutup selama sepuluh hari kegiatan belajar mengajarnya, Ibu pawiyatan “kebanjiran” murid.
Pada saat buka kembali seluruh bagian perguruan di Ibu pawiyatan menjadi 69 ( enam puluh sembilan) kelas. Sampai ibu Pawiyatan kewalahan dalam menampung dan mendapatkan siswa-siswanya. Berhubungan komplek Pendopo Tamansiswa sudah penuh, maka Taman Madya terpaksa menyewa tempat di Kawuman untuk kegiatan belajar mengajarnya. Siswa- siswa Taman Madya Ibu Pawiyatan kebanyakan saat itu merupakan pindahan dari AMS dan HBS yang belum membuka kembali karena perpindahan kedaulatan dari Belanda kepada Jepang.
Setelah dibuka kembali, Taman Madya Ibu pawiyatan yang semula hanya memiliki 5 orang siswa dan terkhir hanya 2 orang siswa. Dengan ditambah oleh siswa pindahan dari HBS dan AMS sertas pendaftar baru, sehingga jumlah keseluruhanya mencapai 4 kelas. Jurusannya yang semula hanya membuka Pasti dan Alam, Kini telah membuka jurusan bahasa, sebab pamong-pamongnya sudah mencukupi untuk jurusan tersebut.
Atas kebijaksanaanya ketua Bagian pendidikan dan kebudayaan Majelis Ibu Pawiyatan, Pada waktu itu dipegang oleh Ki Broto Hamidjojo, siswa kelas I yang lalu dinaikan ke kelas II , sehingga keadaan kelas II menjadi 23 orang dijuruskan pada Pasti dan Alam. Sedangkan kelas I dibagi menjadi 3 kelas untuk dua jurusan ialah Jurusan Pasti dan Alam dan Jurusan Bahasa. Pada tahun 1943 Taman Madya Ibu Pawiyatan sudah dilaksanakan kenaikan kelas dari kelas I ke kelas II dan dari kelas II ke kelas III. (Bersambung bag. 2)
telah dibaca 121 kali